Selasa, 22 Mei 2012

0

Orang Samin Memandang Pemilu
FERGANATA INDRA RIATMOKO


 BOJONEGORO, KOMPAS.com - Kabut pagi baru saja luruh di sekitar kawasan hutan jati yang pohonnya sudah tak lagi rimbun di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (9/4). Di perkampungan komunitas masyarakat Samin di dusun tersebut, warga sudah mulai ramai, sebagian di antaranya anak-anak muda yang bergerombol "nongkrong" di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari tempat pemungutan suara (TPS) 10, menunggu dimulainya pelaksanaan pemilu legislatif 2009 ini.
Sebagian lainnya, terutama para orang tua, tetap pergi bekerja ke sawah. Sendirian, Hardjo Kardi (73), trah terakhir Samin Surosentiko, sejak kabut masih mengelayut di dusun yang berada di tengah kawasan hutan jati itu, sudah memberi makan ikan nila di kolam yang tidak jauh dari rumahnya.
"Saya harus bertugas ke kantor kecamatan Margomulyo, sebagai panitia pengawas (panwas)," kata Bambang Sutrisno (27), anak Hardjo Kardi.

Di ruang tamu atau balai rumah kediaman Hardjo Kardi, sejumlah kursi panjang berjajar, saling berhadap-hadapan dilengkapi dengan sejumlah meja. Di dinding ruangan tamu itu, sedikitnya 15 foto dengan ukuran 10 R dipajang, mulai dari foto Bupati Bojonegoro, Suyono, Imam Soepardi, Atlan, Santoso, termasuk foto Hardjo Kardi bersama Bupati Bojonegoro, Suyoto
Di bagian lain di dekat deretan jajaran kursi tamu, juga di dinding itu, tiga foto dengan ukuran besar, salah satunya  foto dalam bentuk lukisan Samin Surosentiko (Samin Anom), juga foto hitam putih, Surokarto Kamidin dengan blangkon dan baju kuthung warna hitam.
Meski mengenakan blangkon, dalam foto itu Hardjo Kardi sudah mengenakan jas warna hitam. "Surokarto Kamidin itu ayah saya, kalau foto mbah saya, Suro Kidin, tidak ada karena saya tidak punya," kata Hardjo Kardi menjelaskan.
Hardjo Kardi mengaku bangga memasang gambar Samin Surosentiko, juga Surokarto Kamidin, karena leluhurnya tersebut dianggap pejuang yang berani melawan penjajah kolonial Belanda. Di era Presiden, Soekarno, orang tuanya, Surokarto Kamidin tetap dianggap pejuang karena sebagai generasi penerus gerakan Samin Surosentiko.
Surokarto Kamidin dengan sejumlah warga setempat yang dikenal sebagai masyarakat Samin, pada tahun 1964 pernah nekad menemui Presiden Soekarno. Masalahnya, sejumlah warga di Dusun Jepang, ditangkap polisi, karena mengambil kayu jati di hutan.
Di masa penjajahan Belanda para pengikut Samin Surosentiko, yang berada di Blora, Pati, Brebes dan Kudus, Jawa Tengah, juga di Bojonegoro dan Lamongan, melakukan perlawanan. Yang dilakukan di antaranya, selain tidak bersedia membayar pajak, juga menebang kayu jati seenaknya.
Alasan mendasar komunitas masyarakat Samin sederhana, semua alam pemiliknya adalah Tuhan, tidak ada alasan orang lain bisa melarang dan mereka melakukan pembangkangan kepada Belanda dengan diam.
Dari hasil pertemuan di Istana Negara Jakarta dengan Presiden Soekarno itu, akhirnya, Surokarto Kamidin, mendapatkan kepastian perlawanan melawan penjajah kolonial Belanda sudah berakhir, karena Pemerintahan sudah berganti di tangan bangsa Jawa.
"Setelah itu kami tahu pemimpin di negeri ini, bangsa Jawa. Berarti juga Samin, sami-sami amin," kata Hardjo Kardi berfilsafat.
Dalam arti lain, menurut "wong Samin", sami-sami amin, bila setuju dianggap sah, karena mendapatkan dukungan rakyat banyak.
Ini kata Hardjo Kardi, sebagaimana pesan Samin Surosentiko dalam ajarannya yang masih dipegang teguh turun temurun, komunitas masyarakat Samin diminta di belakang, kalau sudah ada Pemerintahan Jawa.
Raja Tanah Jawa
Di masa penjajahan kolonial Belanda dari berbagai catatan yang ada, Samin Surosentiko pada 8 November 1907 di tengah ribuan pengikutnya di sebuah "oro-oro" (tanah lapang tanpa pepohonan) yang tidak disebutkan lokasinya memproklamirkan diri sebagai raja tanah Jawa.
Dari dukungan para pengikutnya di Blora juga di Bojonegoro, Samin Surosentiko mendapatkan julukan, Panembahan Suryongalam dengan kitab andalannya, Jamus Kalimosodo. Gerakan Samin Surosentiko tersebut, juga berawal dari gerakan sederhana mendatangi dan berbicara dengan sejumlah orang baik di balai desa juga tempat lainnya.
Gerakan Samin Surosentiko mulai mengkristal sejak 7 Februari 1889 di oro-oro Bapangan, Blora, Jawa Tengah, pada malam hari, dengan diterangi obor, Samin Surosentiko, mengumpulkan ribuan para pengikutnya dan mengampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa.
Hal yang sama juga dilakukan pada 11 Juli 1901 di lapangan Panggonan, Desa Kasiman, Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, juga malam hari dengan penerangan obor mengampanyekan gerakan politik, sekaligus kejatmikaan. Dari gerakan tersebut, diperkirakan Samin Surosentiko, mampu memiliki pengikut sekitar 1.900 KK yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Bojonegoro. Gerakan yang semakin menguat tersebut akhirnya, meresahkan Pemerintah kolonial Belanda, sehari setelah memproklamiasikan sebagai raja tanah Jawa, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Samin ditangkap di basis perlawanannya di Desa Plosokediren, Kecamatan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Tetapi, versi lain ada yang menyebutkan Samin Surosentiko juga sejumlah pengikut ahlinya dibuang ke Sawahlunto, Sumatra dan meninggal tahun 1914.
Di pembuangan, sebelum meninggal, Samin Surosentiko sempat menulis wasiat, salah satunya berjudul, "Metrum Duduk Waloh". Wasiat itu isinya, Nagaranta, niskala, kanduga arum hapraja mulwikang gati, gen ngaup miwah samungku, nuriya hanggemi ilmu rukunarga tan kana blekuthu".
Dari berbagai upaya yang dilakukan untuk menterjemahkan wasiat itu bisa diartikan: ... sebuah negara bisa kuat bila mempunyai peranan penting yang dapat menentukan peraturan dunia, kalaupun unsur pemerintah salah satunya adalah kelompok yang membuktikan kebijaksanaan dan menghormati kepercayaan para leluhurnya.
Menyangkut wasiat itu, sebagaimana dituturkan Hardjo Kardi, tidak terlalu sulit dimengerti, karena di dalam membaca wasiat itu, tidak hanya mempergunakan otak, tetapi juga harus melengkapi dengan rasa tingkat tinggi.
Hal yang sama juga harus mempergunakan otak selain rasa, dalam memahami pitutur atau wejangan dari peninggalan Samin Surosentiko, dalam bentuk puisi, macopat, gancaran, juga primbon dan kepek sebagai pedoman hidup yang masih banyak disimpan komunitas masyarakat Samin di Bojonegoro dan Blora, Jawa Tengah yang masih tersisa.
Di antaranya dalam bentuk buku dengan judul. "Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kesejaten, Serat Uri-uri Pambudi dan Jati sawit. Dalam pandangan Hardjo Kardi, politik yang berkembang sekarang jauh dari ajaran Samin Surosentiko.
Semua harta benda yang ada, masih dianggap milik para politisi. Sesuai kebiasaan di komunitas warga Samin, harta benda bisa dimanfaatkan siapa saja yang membutuhkan.
Dia mencontohkan, keluarganya pernah kehilangan dua buah TV berwarna. Kehilangan TV itu, tidak pernah dilaporkan kepada polisi dan beberapa hari kemudian dua buah TV itu kembali disertai surat dari pengambilnya yang isinya, TV dikembalikan karena tidak laku dijual.
Di dalam wasiat, Metrum Duduk Waloh tersirat, adanya "Ageman keprajan", yang mengajarkan politik pemerintahan, meskipun sangat sederhana. "Kalau dalam pemilu legislatif ini semua caleg mempergunakan ajaran Samin tidak ada pertentangan semuanya rukun," katanya menegaskan.
Ini dibuktikan Hardjo Kardi sendiri dalam pemilu legislatif 2009 ini, berusaha menerapkan ajaran Samin Surosentiko yang masih diugemi (dipegang teguh) yakni tidak ikut memilih dalam pemilu legislatif 2009 ini. Dia juga tidak mengurusi surat pemberitahuan datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Bapak tujuh anak 12 cucu itu, mengungkapkan, prinsipnya tidak memilih tersebut, dengan pertimbangan sebelum tahapan kampanye dan masa kampanye, tidak terhitung jumlah caleg dari DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dari berbagai daerah di Indonesia, yang menemui dirinya.
Tujuan semua caleg tersebut hanya satu yakni meminta dukungan dan restu agar terpilih sebagai anggota legislatif. Meskipun para caleg tersebut tidak dari daerah pemilihan (dapil) Bojonegoro, ada juga dari daerah Jawa Tengah, Jakarta juga Sulawesi. "Semua yang datang saya dukung, tetapi jadi atau tidak bergantung keberuntungan," tuturnya.
Karena kedatangan para caleg itu, Hardjo Kardi merasa diposisikan sebagai orang tua dan semua caleg yang datang harus diposisikan sebagai anaknya yang harus dijaga hatinya.
"Kalau saya ikut memilih, berarti saya menimbulkan rasa "kemiren" (iri) kepada caleg lainnya, "katanya mengungkapkan.
Pandangannya, kalau dalam pemilu dirinya diperbolehkan memilih, semua caleg yang datang kekediamannya akan dipilih. Sesuai prinsip dasar ajaran Samin Surosentiko yakni, "Orang hidup tidak boleh srei, dengki, dahwen, kemiren lan siya marang sapadha-padaha urip (orang hidup tidak boleh tamak, mendengki, seenaknya, iri dan sewenang-wenang kepada sesama hidup).
Tidak jauh berbeda dengan gerakan politik Samin Surosentiko, yang mengajarkan diam melawan penjajah kolonial Belanda. Dalam pemilu legislatif 2009 ini gerakan yang dilakukan Hardjo Kardi juga diam, tidak ikut memilih.
Tetapi, dia mengaku, tidak berusaha memengaruhi keluarganya untuk tidak ikut memilih. Hal yang sama pernah dilakukan ketika pilkades di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo. Karena 10 calon kades yang bertarung datang menemui dirinya, akhirnya Hardjo Kardi juga tidak ikut mencoblos.
Termasuk ketika pilkada di Bojonegoro, tiga pasangan pilkada semuanya datang ke kediamannya dan diputuskan juga tidak ikut memilih. Berbeda dengan pilgub Jawa Timur, katanya, dirinya datang ke TPS untuk memilih.
Alasannya, sebelum pelaksanaan pemilihan ada utusan pasangan Karsa datang ke kediamannya dan menyampaikan pesan meminta dukungan dan restu. Sedangkan pasangan cagub dan cawagub Jawa Timur lainnya atau timnya tidak ada yang datang kekediamannya.
Pedomannya, menurut dia, kalau politisi yang datang ke kediamannya lebih dari satu, termasuk pada pilpres 2009 ini, dirinya tidak akan ikut memilih. Dirinya, tidak akan berani membohongi dirinya sendiri karena keingginan politisi yang datang tujuannya meminta doa restu dan dukungan sedangkan dirinya jelas akan memberi permintaan itu.
"Saya tidak pernah melarang atau menyuruh keluarga saya, yang jelas keluarga di sini yang berjumlah 10 orang semuanya ikut memilih dalam pemilu legislatif ini,"katanya.
Termasuk anaknya, Bambang Sutrisno  yang juga bertugas sebagai Bendahara Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu Kecamatan Margomulyo, datang ke TPS 11 untuk mencentang yang selanjutnya berangkat menjalankan tugasnya sebagai Panwas.
Di antara puluhan pemilih lainnya, Ny Sidah istri Hardjo Kardi, datang ke TPS, termasuk ikut mengantre bersama warga lainnya dengan duduk di atas kursi kayu panjang ditemani anaknya, Sri Purnami (35) dan menantunya, Novi (30), sebelum akhirnya dipanggil untuk masuk bilik suara.
Diamnya Hardjo Kardi, juga tidak memengaruhi 299 daftar pemilih tetap (DPT) di TPS 10 dan 292 DPT di TPS 11, di Dusun Jepang yang tingkat kehadiran untuk mempergunakan hak pilih dalam pemilu legislatif ini mencapai 75 persen.
Menurut Bambang Sutrisno, sepanjang pengamatan dirinya bertugas sebagai Panwas, tidak ada satupun kejadian pelanggaran administrasi atau pelanggaran tindak pidana pemilu di Kecamatan Margomulyo.
"Apalagi di dusun Jepang yang hampir tidak ada warga yang bersitegang untuk mempertahankan calegnya atau parpol pilihannya, "katanya menambahkan.

Jumat, 18 Mei 2012

0

PANDANGAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP 
AJARAN SAMIN SUROSENTIKO


1. Semangat Pembebasan
Kuatnya pengaruh Samin Surosentiko menjadikan landasan bagi pengikutnya untuk melawan ketidakadilan penjajahan Belanda. Keengganan masyarakat Samin untuk membayar pajak, tidak mau ikut ronda, dan sebagainya juga telah membuat Pemerintahan Kolonial Belanda bingung. Keberanian itu timbul semenjak Ki Samin menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik orang Jawa yakni yang diyakininya diperoleh dari warisan Prabu Punthodewo. Sebagaimana yang disebutkan dalam Serat Punjer Kawitan, mungkin Ki Samin terlalu melebih-lebihkan (memitoskan) cerita ini. Namun bila cerita ini dilihat secara tersirat nampak bahwa Ki Samin sedang memberikan semangat pembebasan bagi pengikutnya untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan.
Dalam sejarah Islam disebutkan, sebelum Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di Makkah, kondisi sosio-kultur dan politik-ekonomi di kota itu sangatlah memprihatinkan. Penindasan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana. Kesenjangan sosial sangat tinggi menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Posisi dan kedudukan wanita sama sekali tidak dihargai. Budak-budak perempuan dipaksa untuk melayani nafsu seksual tuan-tuannya. Mereka tidak dapat memainkan peran independen dalam bidang sosial, ekonomi, atau politik. Dalam bidang politk, fanatisme kesukuan yang sangat tinggi mengakibatkan mereka tidak mempunyai persatuan yang kuat. Sehingga peperangan menjadi semacam hobi di kalangan mereka.
Nabi Muhammad Saw. lahir dengan kondisi sosial yang sangat buruk. Dengan Al-Quran sebagai bukti legalitasnya menjadi seorang Rasul, ia berusaha membebaskan kondisi masyarakat Makkah menuju masyarakat yang harmonis. Dengan rasa keberanian yang dilandasi dengan kebenaran, Nabi Muhammad Saw. melakukan gerakan yang sangat radikal yakni membebaskan masyarakat dari penindasan, penderitaan, takhayul, perbudakan dan ketidakadilan. Pembebasan ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan umatnya untuk berfikir dan berbuat.
Ini adalah sedikit gambaran singkat mengenai pendidikan pembebasan yang terdapat dalam Islam. Agama selalu mengajarkan harmoni. Begitulah pandangan orang dari sudut normatif sehingga menjadi keniscayaan bila keberadaan agama harus mampu menegakkan rasa keadilan, kemerdekaan, dan pengakuan hak-hak atas setiap manu sia.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa antara Samin Surosentiko dengan Muhammad Saw., memiliki persamaan semangat sebagai bekal untuk mengentaskan masyarakatnya dari segala penindasan dan ketidakadilan. Namun keduanya tidak berada pada frame (bingkai) yang sama. Di satu sisi hendak menyebarkan ajaran Islam, dan di sisi lain hendak menciptakan solidaritas kelompoknya lebih stabil.
2. Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan
Meski tidak mengenal teori-teori sosiologi modern seperti sekarang ini, namun Samin Surosentiko sadar bahwa untuk menjalin hidup kebersamaan di masyarakat, setiap orang harus sama-sama bertindak jujur, sama-sama bersikap adil, sama-sama saling menolong dan sebagainya. Ki Samin selalu berpegang pada prinsip sinten mawon kulo aku sedulur. Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan yang kuat di kalangan pengikutnya. Ungkapan dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké memberikan kesan bahwa kehidupan selalu diselimuti rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Dalam ajaran Islam, umat Islam selalu dianjurkan untuk hidup berdampingan di masyarakat. Artinya terdapat semangat kebersamaan dalam konsep hidup orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yang artinya “Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang lain. Ia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkan (kepada musuhnya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah Swt. akan memenuhi pula kebutuhannya. Siapa yang melapangkan suatu kesulitan seorang muslim, Allah Swt. akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi di hari kemudian.” (HR. Buhkari Muslim dari sahabat Ibnu Umar)
Prinsip persaudaraan ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam sebuah firmannya yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt. supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujarat 49:10). Menurut Quraish Shihab, faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas maupun sempit adalah persamaan sehingga semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. (Quraish Shihab, 1994)
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan sedikitpun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau warna kulit. Perbedaan-perbedaan ini diciptakan oleh Allah Swt. agar manusia saling mengenal bukan malah berusaha menguasai satu sama lainnya atau merasa benar dibanding dengan kelompok lainnya. (QS. Al Hujaraat 49:13)

Nabi Muhammad Saw. menerapkan ajaran persamaan tersebut dengan cara mengangkat seorang budak Negro yang bernama Bilal untuk menjadi muadzin. Meski sempat menjadi bahan cemoohan orang-orang Quraish, namun Nabi tetap dalam pendiriannya. Dengan mengangkat seorang budak Negro, Nabi Muhammad Saw. dengan jelas menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia melampaui segala hal, tidak membedakan warna kulit maupun status sosialnya dalam masyarakat.
Begitupula yang dilakukan oleh Samin Surosentiko, semangat persamaan selalu didengung-dengungkan. Bahkan ia berani ‘menggugat’ tata Bahasa Jawa secara umum yakni dengan keengganannya menggunakan bahasa selain Ngoko dalam setiap pembicaraan.
3. Etos Kerja
Terdapat pribahasa yang cukup terkenal dalam masyarakat Samin yakni “Janma lan sato iku prabédané anéng jantraning laku. Janma wenang amurba lan misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa ing pranatamangsa.” Dalam pribahasa tersebut dijelaskan bahwa perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim.
Ki Samin berpesan, agar mampu menopang kehidupannya, setiap manusia harus bekerja. Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Guna mendapatkan hasil yang lebih baik dalam bekerja, setiap manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Seperti terlihat dalam ungkapan lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni.
Sebagai makhluk pengemban amanah kekhalifahan, manusia mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga potensi tersebut dapat didayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban. (A. Malik Fadjar, 1999). Dalam konteks ini manusia harus mampu belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral (knowling is doing), sebab tanpa tanggung jawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tentu tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tentram di mana kepribadian dapat berkembang. (H.A.R. Tilaar, 1999)
Dengan tegas Al-Quran menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah Swt. yang paling sempurna (QS. As-Sajdah 32:7), memiliki potensi atau fitrah bawaan QS. Ar-Rum 30:30, dapat diberdayakan, dapat didik dan mendidik sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam kehidupannya. Bila potensi-potensi ini mampu dikembangkan maka manusia akan mendapatkan prestasi-prestasi dalam hidupnya. Agar mampu menyelesaikan tugasnya sebagai khalifah, manusia dibekali berbagai keistimewaan dan potensi yang telah tergambar dalam kisah perjalanannya menuju tempat tugasnya. Quraish Shihab (1994) mengklasifikasikan kisah perjalanan tersebut dalam empat tahapan yakni;
Pertama, kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. (QS. Thaahaa 20:31). Melalui potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam raya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya, kemudian meramu berbagai aspek bentukan alam untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Kedua, pengalaman selama berada di surga, baik yang manis maupun yang pahit. Hal ini membekali mereka dengan cita-cita dan arah tugas khalifahnya di dunia. Dengan demikian segala aktifitasnya terarah untuk kembali ke surga, bahkan mewujudkan bayangan-gayangan surga di permukaan bumi ini, dengan mewujudkan kesejahteraan ruhani berupa kedamaian yang dialaminya di surga, (QS. Waaqiah 56:26) serta kesejahteraan jasmani berupa kebebasan dari kebutuhan-kebutuhan khususnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. (QS Thahaa 20:117-119). Di samping itu pengalamannya mengikuti rayuan-rayuan setan yang mengakibatkannya ‘keluar’ dari surga merupakan pelajaran yang sangat berharga agar manusia tidak mengulangi kesalahan tersebut di dunia. Dan pada saat yang sama, pengalaman tersebut menggambarkan adanya potensi negatif dalam diri manusia. Ketiga, Tuhan telah menaklukkan atau memudahkan alam raya untuk diolah manusia, (QS. Ibrahim 14:32-33) penaklukan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia sendiri. (QS. Az-Zuhruf 43:13). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kemudahan penaklukan tersebut bersumber dari Tuhan, dan dengan demikian, manusia dan benda-benda tersebut mempunyai kedudukan yang sama dari segi ketundukan dan perhambaan diri kepada Tuhan. Keempat, beberapa saat setelah manusia tiba di bumi, Tuhan memberikan kepadanya petunjuk-petunjuk. (QS. Thaahaa 20:123). Petunjuk-petunjuk tersebut dapat diperinci menjadi dua bagian yakni (1) Petunjuk terinci dan pasti sehingga tidak dibenarkan adanya campuran tangan pemikiran manusia, dan tidak pula dibenarkan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dan situasi sosial apapun (petunjuk seperti ini sedikit sekali), dan (2) Petunjuk yang bersifat umum atau nilai-nilai sehingga manusia diberi kewenangan untuk memikirkan dan menyesuaiakan diri dengan nilai-nilai tersebut tanpa terikat dengan suatu cara tertentu.
4. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Rutinitas kehidupan sebagai petani membuat kedekatan Samin Surosentiko dengan alam tidak dapat terpisahkan lagi. Kepercayaannya terhadap ‘karma’ menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Meskipun tanah Jawa adalah tanah warisan, namun mereka tidak mau seenaknya saja memanfaatkan apa yang ada di dalamnya. Kuatnya kepercayaan ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang nandur mesti bakal ngunduh” (siapa yang menanam pasti akan memanen). Aturan ini menuntut kehati-hatian mereka dalam mengelola lingkungannya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sepertihalnya yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya, konsep kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan alam. Interaksi tersebut harus bersifat harmonis, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. (Quraish Shihab, 1994). Semakin harmonis hubungan manusia dengan alam raya maka semakin dalam pengenalannya terhadap lingkungan, sehingga semakin banyak hal-hal yang dapat diperoleh melalui alam. Sebaliknya bila hubungan tidak harmonis dan hanya sebatas eksploitasi sepihak, maka hasil yang dicapai adalah penderitaan yang disebabkan tidak terawatnya alam disekitarnya. Besarnya karunia yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan manusia. (QS. An-Nahl 16:5)
Seluruh alam raya diciptakan oleh Allah Swt. agar digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. (Quraish Shihab, 1994). Allah Swt. menciptakan alam seisinya tentunya dengan perencanaan dan tujuan yang sangat matang (QS. Ad-Dukhan 44:38 dan QS. Al Ahqqaf 46:3) Dalam pandangan agama, manusia dituntut agar mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dalam alam. Etika agama terhadap alam mengantarkan manusia untuk bertanggungjawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri. (Quraish Shihab, 1994). Dengan demikian sikap yang diajarkan oleh agama ini tentunya tidak sejalan dengan sikap yang memandang bahwa alam semata-mata hanya untuk mencapai tujuan konsumtif manusia belaka.
Islam secara tegas melarang umatnya untuk memanfaatkan sumber daya alam tanpa batas-batas kewajaran. Sifat-sifat luhur yang tercermin dalam perilaku bertanggung jawab merupakan dasar pijakan dalam pengelolaan alam. Bila sekarang ini alam menjadi semakin tidak bersahabat, banyak bencana tanah longsor, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya, maka kesemua itu tidak lain adalah akibat ulah dari keserakahan manusia. (Q.S. AR-Ruum: 41)
5. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak pada ajaran Samin Surosentiko ini salah satunya tercermin dalam prinsip putéh-putéh, abang-abang, yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran. Kemudian prinsip kehati-hatian dalam berbicara terlihat dalam ungkapan rembugé sing ngati-ati. Anjuran untuk menjauhi sifat dengki, iri hati, permusuhan, pencurian, terdapat dalam ungkapan aja drengki sréi, tukar-padu, mbadog colong. Keharusan untuk mengendalikan panca indera tersimpukan dalam ungkapan pangucap saka limo bundhelané ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelané ana pitu.
Dalam Islam, sudah banyak ayat Al-Quran maupun Hadits yang membahas tentang masalah budi pekerti. Misalnya, dalam Surat Al-Qalam ayat 4 Allah Swt. berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung” (QS. Al Qalam 68:4). Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasulullah Saw. bersabda; “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Quraish Shihab (2004) sasaran akhlak islamiyah terbagi menjadi tiga bentuk, pertama, akhlak terhadap Allah Swt. Titik tolak akhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan dan kesadaran manusia bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Swt. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu sehingga semua makhluknya tidak mampu menjangkau hakikat-Nya. Itu sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya. Kedua, Akhlak kepada sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kamu berjauh diri dari dengki, karena dengki itu memakan kebajikan-kebajikan sebagaimana api memakan kayu.” Setiap ucapan haruslah merupakan ucapan yang baik. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt., “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah 2:83)
Ketiga, akhlak terhadap lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Firman Allah Swt., “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah Swt.” (QS. Al Hasyr 59:5). Ayat ini menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini merupakan milik Allah Swt., dan mengantarkan kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman manusia, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bukan saja dituntut untuk tidak angkuh terhadap sumber daya yang dimiliki-Nya melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa saja yang berada di sekitar manusia.
BACAAN
Amrih Widodo, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati” dalam Majalah BASIS Nomor 09-10 tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, penerjemah Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Eny Marlina, “Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni, 2005.
Franz Margnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 2001
Gatot Pranoto, “Saminisme: Ajaran Spiritual Unik dari Blora”, makalah pemateri Sarasehan Budaya Spiritual pada tanggal 20-21 Maret 2006 di Adhi Jaya Hotel Blora
G. Sijayanto/Mayong S. Laksono “Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko”
dalam http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm.
tulisan di akses pada tanggal 5 Februari 2006.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Harun Mirzah, Gerakan Saminisme, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
Hasan Anawar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”, Prisma (Edisi Nomor 10, Oktober 1979, tahun VIII).
Imam Fatawi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koran KOMPAS, Edisi Jumat, 4 Maret 2005, Judul Berita: “Samin, Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah”
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Muhammad Fathoni Hasyim, “Islam Samin, Sinkretisme Tradisi Samin dan Islam di Jepang Bojonegoro”, dalam Istiqro’ Journal Penelitian Islam Indonesia, (Volume 03, Nomor 01, 2004)
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari AspekKebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2004
______ , “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
______ , Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.
Nurudin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Purwadi, “Ajaran Samin Surosentiko” dalam Tasawuf Muslim Jawa, Yogyakarta: Pustaka, 2004.
_______ dan Maharsi, Babad Demak; Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005
R.P.A Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Slamet MD. Pesona Budaya Blora, Suatu Kajian Folklor. Surakarta: STSI Press dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora, 2005.
Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater, 1996.
_______, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis (edisi Januari 1983)        
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Kompas. 2003.
Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes

PANDANGAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP AJARAN SAMIN SUROSENTIKO

0

PANDANGAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP AJARAN SAMIN SUROSENTIKO

1. Semangat Pembebasan
Kuatnya pengaruh Samin Surosentiko menjadikan landasan bagi pengikutnya untuk melawan ketidakadilan penjajahan Belanda. Keengganan masyarakat Samin untuk membayar pajak, tidak mau ikut ronda, dan sebagainya juga telah membuat Pemerintahan Kolonial Belanda bingung. Keberanian itu timbul semenjak Ki Samin menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik orang Jawa yakni yang diyakininya diperoleh dari warisan Prabu Punthodewo. Sebagaimana yang disebutkan dalam Serat Punjer Kawitan, mungkin Ki Samin terlalu melebih-lebihkan (memitoskan) cerita ini. Namun bila cerita ini dilihat secara tersirat nampak bahwa Ki Samin sedang memberikan semangat pembebasan bagi pengikutnya untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan.
Dalam sejarah Islam disebutkan, sebelum Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di Makkah, kondisi sosio-kultur dan politik-ekonomi di kota itu sangatlah memprihatinkan. Penindasan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana. Kesenjangan sosial sangat tinggi menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Posisi dan kedudukan wanita sama sekali tidak dihargai. Budak-budak perempuan dipaksa untuk melayani nafsu seksual tuan-tuannya. Mereka tidak dapat memainkan peran independen dalam bidang sosial, ekonomi, atau politik. Dalam bidang politk, fanatisme kesukuan yang sangat tinggi mengakibatkan mereka tidak mempunyai persatuan yang kuat. Sehingga peperangan menjadi semacam hobi di kalangan mereka.
Nabi Muhammad Saw. lahir dengan kondisi sosial yang sangat buruk. Dengan Al-Quran sebagai bukti legalitasnya menjadi seorang Rasul, ia berusaha membebaskan kondisi masyarakat Makkah menuju masyarakat yang harmonis. Dengan rasa keberanian yang dilandasi dengan kebenaran, Nabi Muhammad Saw. melakukan gerakan yang sangat radikal yakni membebaskan masyarakat dari penindasan, penderitaan, takhayul, perbudakan dan ketidakadilan. Pembebasan ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan umatnya untuk berfikir dan berbuat.
Ini adalah sedikit gambaran singkat mengenai pendidikan pembebasan yang terdapat dalam Islam. Agama selalu mengajarkan harmoni. Begitulah pandangan orang dari sudut normatif sehingga menjadi keniscayaan bila keberadaan agama harus mampu menegakkan rasa keadilan, kemerdekaan, dan pengakuan hak-hak atas setiap manu sia.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa antara Samin Surosentiko dengan Muhammad Saw., memiliki persamaan semangat sebagai bekal untuk mengentaskan masyarakatnya dari segala penindasan dan ketidakadilan. Namun keduanya tidak berada pada frame (bingkai) yang sama. Di satu sisi hendak menyebarkan ajaran Islam, dan di sisi lain hendak menciptakan solidaritas kelompoknya lebih stabil.
2. Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan
Meski tidak mengenal teori-teori sosiologi modern seperti sekarang ini, namun Samin Surosentiko sadar bahwa untuk menjalin hidup kebersamaan di masyarakat, setiap orang harus sama-sama bertindak jujur, sama-sama bersikap adil, sama-sama saling menolong dan sebagainya. Ki Samin selalu berpegang pada prinsip sinten mawon kulo aku sedulur. Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan yang kuat di kalangan pengikutnya. Ungkapan dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké memberikan kesan bahwa kehidupan selalu diselimuti rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Dalam ajaran Islam, umat Islam selalu dianjurkan untuk hidup berdampingan di masyarakat. Artinya terdapat semangat kebersamaan dalam konsep hidup orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yang artinya “Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang lain. Ia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkan (kepada musuhnya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah Swt. akan memenuhi pula kebutuhannya. Siapa yang melapangkan suatu kesulitan seorang muslim, Allah Swt. akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi di hari kemudian.” (HR. Buhkari Muslim dari sahabat Ibnu Umar)
Prinsip persaudaraan ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam sebuah firmannya yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt. supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujarat 49:10). Menurut Quraish Shihab, faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas maupun sempit adalah persamaan sehingga semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. (Quraish Shihab, 1994)
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan sedikitpun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau warna kulit. Perbedaan-perbedaan ini diciptakan oleh Allah Swt. agar manusia saling mengenal bukan malah berusaha menguasai satu sama lainnya atau merasa benar dibanding dengan kelompok lainnya. (QS. Al Hujaraat 49:13)

Nabi Muhammad Saw. menerapkan ajaran persamaan tersebut dengan cara mengangkat seorang budak Negro yang bernama Bilal untuk menjadi muadzin. Meski sempat menjadi bahan cemoohan orang-orang Quraish, namun Nabi tetap dalam pendiriannya. Dengan mengangkat seorang budak Negro, Nabi Muhammad Saw. dengan jelas menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia melampaui segala hal, tidak membedakan warna kulit maupun status sosialnya dalam masyarakat.
Begitupula yang dilakukan oleh Samin Surosentiko, semangat persamaan selalu didengung-dengungkan. Bahkan ia berani ‘menggugat’ tata Bahasa Jawa secara umum yakni dengan keengganannya menggunakan bahasa selain Ngoko dalam setiap pembicaraan.
3. Etos Kerja
Terdapat pribahasa yang cukup terkenal dalam masyarakat Samin yakni “Janma lan sato iku prabédané anéng jantraning laku. Janma wenang amurba lan misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa ing pranatamangsa.” Dalam pribahasa tersebut dijelaskan bahwa perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim.
Ki Samin berpesan, agar mampu menopang kehidupannya, setiap manusia harus bekerja. Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Guna mendapatkan hasil yang lebih baik dalam bekerja, setiap manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Seperti terlihat dalam ungkapan lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni.
Sebagai makhluk pengemban amanah kekhalifahan, manusia mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga potensi tersebut dapat didayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban. (A. Malik Fadjar, 1999). Dalam konteks ini manusia harus mampu belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral (knowling is doing), sebab tanpa tanggung jawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tentu tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tentram di mana kepribadian dapat berkembang. (H.A.R. Tilaar, 1999)
Dengan tegas Al-Quran menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah Swt. yang paling sempurna (QS. As-Sajdah 32:7), memiliki potensi atau fitrah bawaan QS. Ar-Rum 30:30, dapat diberdayakan, dapat didik dan mendidik sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam kehidupannya. Bila potensi-potensi ini mampu dikembangkan maka manusia akan mendapatkan prestasi-prestasi dalam hidupnya. Agar mampu menyelesaikan tugasnya sebagai khalifah, manusia dibekali berbagai keistimewaan dan potensi yang telah tergambar dalam kisah perjalanannya menuju tempat tugasnya. Quraish Shihab (1994) mengklasifikasikan kisah perjalanan tersebut dalam empat tahapan yakni;
Pertama, kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. (QS. Thaahaa 20:31). Melalui potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam raya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya, kemudian meramu berbagai aspek bentukan alam untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Kedua, pengalaman selama berada di surga, baik yang manis maupun yang pahit. Hal ini membekali mereka dengan cita-cita dan arah tugas khalifahnya di dunia. Dengan demikian segala aktifitasnya terarah untuk kembali ke surga, bahkan mewujudkan bayangan-gayangan surga di permukaan bumi ini, dengan mewujudkan kesejahteraan ruhani berupa kedamaian yang dialaminya di surga, (QS. Waaqiah 56:26) serta kesejahteraan jasmani berupa kebebasan dari kebutuhan-kebutuhan khususnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. (QS Thahaa 20:117-119). Di samping itu pengalamannya mengikuti rayuan-rayuan setan yang mengakibatkannya ‘keluar’ dari surga merupakan pelajaran yang sangat berharga agar manusia tidak mengulangi kesalahan tersebut di dunia. Dan pada saat yang sama, pengalaman tersebut menggambarkan adanya potensi negatif dalam diri manusia. Ketiga, Tuhan telah menaklukkan atau memudahkan alam raya untuk diolah manusia, (QS. Ibrahim 14:32-33) penaklukan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia sendiri. (QS. Az-Zuhruf 43:13). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kemudahan penaklukan tersebut bersumber dari Tuhan, dan dengan demikian, manusia dan benda-benda tersebut mempunyai kedudukan yang sama dari segi ketundukan dan perhambaan diri kepada Tuhan. Keempat, beberapa saat setelah manusia tiba di bumi, Tuhan memberikan kepadanya petunjuk-petunjuk. (QS. Thaahaa 20:123). Petunjuk-petunjuk tersebut dapat diperinci menjadi dua bagian yakni (1) Petunjuk terinci dan pasti sehingga tidak dibenarkan adanya campuran tangan pemikiran manusia, dan tidak pula dibenarkan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dan situasi sosial apapun (petunjuk seperti ini sedikit sekali), dan (2) Petunjuk yang bersifat umum atau nilai-nilai sehingga manusia diberi kewenangan untuk memikirkan dan menyesuaiakan diri dengan nilai-nilai tersebut tanpa terikat dengan suatu cara tertentu.
4. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Rutinitas kehidupan sebagai petani membuat kedekatan Samin Surosentiko dengan alam tidak dapat terpisahkan lagi. Kepercayaannya terhadap ‘karma’ menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Meskipun tanah Jawa adalah tanah warisan, namun mereka tidak mau seenaknya saja memanfaatkan apa yang ada di dalamnya. Kuatnya kepercayaan ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang nandur mesti bakal ngunduh” (siapa yang menanam pasti akan memanen). Aturan ini menuntut kehati-hatian mereka dalam mengelola lingkungannya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sepertihalnya yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya, konsep kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan alam. Interaksi tersebut harus bersifat harmonis, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. (Quraish Shihab, 1994). Semakin harmonis hubungan manusia dengan alam raya maka semakin dalam pengenalannya terhadap lingkungan, sehingga semakin banyak hal-hal yang dapat diperoleh melalui alam. Sebaliknya bila hubungan tidak harmonis dan hanya sebatas eksploitasi sepihak, maka hasil yang dicapai adalah penderitaan yang disebabkan tidak terawatnya alam disekitarnya. Besarnya karunia yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan manusia. (QS. An-Nahl 16:5)
Seluruh alam raya diciptakan oleh Allah Swt. agar digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. (Quraish Shihab, 1994). Allah Swt. menciptakan alam seisinya tentunya dengan perencanaan dan tujuan yang sangat matang (QS. Ad-Dukhan 44:38 dan QS. Al Ahqqaf 46:3) Dalam pandangan agama, manusia dituntut agar mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dalam alam. Etika agama terhadap alam mengantarkan manusia untuk bertanggungjawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri. (Quraish Shihab, 1994). Dengan demikian sikap yang diajarkan oleh agama ini tentunya tidak sejalan dengan sikap yang memandang bahwa alam semata-mata hanya untuk mencapai tujuan konsumtif manusia belaka.
Islam secara tegas melarang umatnya untuk memanfaatkan sumber daya alam tanpa batas-batas kewajaran. Sifat-sifat luhur yang tercermin dalam perilaku bertanggung jawab merupakan dasar pijakan dalam pengelolaan alam. Bila sekarang ini alam menjadi semakin tidak bersahabat, banyak bencana tanah longsor, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya, maka kesemua itu tidak lain adalah akibat ulah dari keserakahan manusia. (Q.S. AR-Ruum: 41)
5. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak pada ajaran Samin Surosentiko ini salah satunya tercermin dalam prinsip putéh-putéh, abang-abang, yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran. Kemudian prinsip kehati-hatian dalam berbicara terlihat dalam ungkapan rembugé sing ngati-ati. Anjuran untuk menjauhi sifat dengki, iri hati, permusuhan, pencurian, terdapat dalam ungkapan aja drengki sréi, tukar-padu, mbadog colong. Keharusan untuk mengendalikan panca indera tersimpukan dalam ungkapan pangucap saka limo bundhelané ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelané ana pitu.
Dalam Islam, sudah banyak ayat Al-Quran maupun Hadits yang membahas tentang masalah budi pekerti. Misalnya, dalam Surat Al-Qalam ayat 4 Allah Swt. berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung” (QS. Al Qalam 68:4). Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasulullah Saw. bersabda; “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Quraish Shihab (2004) sasaran akhlak islamiyah terbagi menjadi tiga bentuk, pertama, akhlak terhadap Allah Swt. Titik tolak akhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan dan kesadaran manusia bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Swt. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu sehingga semua makhluknya tidak mampu menjangkau hakikat-Nya. Itu sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya. Kedua, Akhlak kepada sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kamu berjauh diri dari dengki, karena dengki itu memakan kebajikan-kebajikan sebagaimana api memakan kayu.” Setiap ucapan haruslah merupakan ucapan yang baik. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt., “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah 2:83)
Ketiga, akhlak terhadap lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Firman Allah Swt., “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah Swt.” (QS. Al Hasyr 59:5). Ayat ini menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini merupakan milik Allah Swt., dan mengantarkan kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman manusia, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bukan saja dituntut untuk tidak angkuh terhadap sumber daya yang dimiliki-Nya melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa saja yang berada di sekitar manusia.
BACAAN
Amrih Widodo, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati” dalam Majalah BASIS Nomor 09-10 tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, penerjemah Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Eny Marlina, “Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni, 2005.
Franz Margnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 2001
Gatot Pranoto, “Saminisme: Ajaran Spiritual Unik dari Blora”, makalah pemateri Sarasehan Budaya Spiritual pada tanggal 20-21 Maret 2006 di Adhi Jaya Hotel Blora
G. Sijayanto/Mayong S. Laksono “Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko”
dalam http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm.
tulisan di akses pada tanggal 5 Februari 2006.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Harun Mirzah, Gerakan Saminisme, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
Hasan Anawar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”, Prisma (Edisi Nomor 10, Oktober 1979, tahun VIII).
Imam Fatawi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koran KOMPAS, Edisi Jumat, 4 Maret 2005, Judul Berita: “Samin, Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah”
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Muhammad Fathoni Hasyim, “Islam Samin, Sinkretisme Tradisi Samin dan Islam di Jepang Bojonegoro”, dalam Istiqro’ Journal Penelitian Islam Indonesia, (Volume 03, Nomor 01, 2004)
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari AspekKebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2004
______ , “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
______ , Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.
Nurudin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Purwadi, “Ajaran Samin Surosentiko” dalam Tasawuf Muslim Jawa, Yogyakarta: Pustaka, 2004.
_______ dan Maharsi, Babad Demak; Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005
R.P.A Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Slamet MD. Pesona Budaya Blora, Suatu Kajian Folklor. Surakarta: STSI Press dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora, 2005.
Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater, 1996.
_______, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis (edisi Januari 1983)        
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Kompas. 2003.
Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes

AJARAN PENDIDIKAN SAMIN SUROSENTIKO

0


AJARAN PENDIDIKAN SAMIN SUROSENTIKO

1. Pendidikan tentang Semangat Pembebasan
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, gerakan-gerakan protes petani yang ditujukan kepada Pemerintah Kolonial Belanda mulai muncul. Semua gerakan itu, termasuk gerakan protes petani di Blora, adalah suatu pernyataan tidak puas dari petani terhadap dominasi kolonial yang membawa perubahan di kawasan pedesaan. Perubahan yang diharapkan menjadikan kehidupan rakyat menjadi lebih baik, malah berbalik menyengsarakan rakyat.
Oleh karena pajak yang dibebankan kepada masyarakat sangat tinggi, masyarakat hidup dalam serba kesulitan dan kekurangan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, yaitu makanan dan pakaian. Badan mereka kurus-kurus, bahkan karena hal demikian mereka menjadi tidak mempunyai keberanian untuk menentang Belanda.
Melihat fenomena demikian, Ki Samin Surosentiko tergerak hatinya. Sepertihalnya orang tuanya, jiwa sosialnya mulai muncul. Ia menganjurkan kepada penduduk untuk tidak tunduk kepada Belanda. Keyakinan bahwa tanah Jawa adalah warisan dari leluhur, mengakar kuat dalam jiwanya. Bersama pengikutnya, Ia kemudian bersama-sama melakukan pemberontakan kepada Belanda. Bukan pemberontakan fisik yang ditempuh, tapi cara nggendeng-lah yang dipilih dalam setiap perlawanan, demi memperoleh kembali hak-hak yang selama ini telah dirampas oleh bangsa lain.
2. Pendidikan tentang Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan
Rasa kebersamaan merupakan ajaran terpokok yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia harus bertindak “sama-sama”, sama-sama bertindak jujur, sama-sama adil, sama-sama saling menolong, demi terciptanya masyarakat yang homogen dan guyub. (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Ia menggunakan istilah sedulur (saudara) untuk membahasakan diri sendiri kepada orang lain. Siapapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun ketika sudah menjadi bagian dalam komunitas Samin, maka ia dianggap sebagai saudara. Ajaran tersebut tercermin dalam prinsip sinten mawon kulo aku sedulur (siapa saja saya anggap sebagai saudara). (Sugeng Winarno, 2003). Berawal dari prinsip itu maka muncul gaya hidup yang bersifat permisif (terbuka) dan egaliter (persamaan).
Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut adang akéh, semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama. (Titi Mumfangati, dkk, 2004) Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa gilir-gumanti (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Yakni bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu.
Kadar kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko memang sangat tinggi. Dapat dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal itu tercermin dalam motto dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké (milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan). (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Bila seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya apa-apa, tanpa ragu ia bisa pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu!” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu!” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII).
Penanaman rasa persamaan dicerminkan Ki Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (bahasa Jawa kasar) dalam setiap percakapan, tanpa mau menggunakan Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi. (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya.
3. Pendidikan Etos Kerja
Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. (Hasan Anwar, 1979). Setiap orang diharuskan mampu melatih diri dan bekerja sejak dini guna mendapatkan kemakmuran hidup. Dengan akal, manusia mampu menetukan hal-hal yang paling tepat bagi kehidupannya. Seperti bunyi sebuah pribahasa di kalangan masyarakat Samin, “Janma lan sato iku prabédané anéng jantraning laku. Janma wenang amurba lan misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa ing pranatamangsa.” Artinya, perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim. (Soerjanto Sastroatmodjo, 2003)
Agar mampu mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Dengan usaha dan kesabaran tersebut, hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi. Lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni (kerjakan sikap sabar dan giat. Agar selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan).
4. Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hubungan manusia dengan alam lingkungan di masyarakat Samin terjalin sangat akrab dan dekat. Hal ini disebabkan rutinitas kehidupannya adalah sebagai petani sehingga kedekatan dengan alam tidak dapat terpisahkan. Baginya, pekerjaan yang paling mulia dan sesuai dengan kondisi mereka adalah sebagai seorang petani.
Dalam pengelolaan hasil panen yang diperoleh, mereka membiasakan membagi menjadi empat bagian yang sama besar. Bagian pertama disediakan untuk bibit pada masa tanam berikutnya. Kedua, untuk pangan, yaitu bagian yang disediakan untuk kebutuhan makan setiap hari. Ketiga, untuk sandang, yaitu bagian yang disediakan untuk keperluan membeli pakaian dan sejenisnya. Keempat, ialah untuk upah, yaitu bagian yang disediakan untuk penggarapan sawah atau ladang dan ongkos menuai atau panen. (Hasan Anwar, 1979). Khusus bagian yang disediakan untuk bibit, dalam keadaan yang bagaimanapun, bagian ini tidak boleh dikurangi. Sebab apabila bagian ini dikurangi untuk menutup keperluan lain, maka sudah pasti mereka akan kesulitan untuk melakukan penanaman di musim tanam yang akan datang. Dalam hal ini, ada semacam tuntutan untuk melestarikan lingkungan secara berkelanjutan.
Kepercayaan terhadap ‘karma’ menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Adanya kepercayaan ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang nandur mesti bakal ngunduh, ora ono nandur pari thukul jagung, nandur pari mesti ngunduh pari” (siapa yang menanam pasti akan memanen, tidak ada seorang pun yang menanam padi akan menuai jagung, siapa saja menanam padi pasti akan menghasilkan padi). (Hasan Anwar, 1979). Barang siapa yang menanam kebaikan, maka disuatu saat nanti ia akan menuai hasil kebaikannya. Sebaliknya, barang siapa yang menanam benih-benih kejelekan, maka tentunya ia sendiri yang akan menuai kejelekan itu di suatu saat nanti.
5. Pendidikan Akhlak atau Budi Pekerti
Secara keseluruhan ajaran-ajaran Samin Surosenitiko, pada hakikatnya menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Ajaran tersebut digunakan sebagai pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia dalam pergaulan. Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Ki Samin adalah kejujuran. Kejujuran hatinya tersimpulkan dalam Bahasa Jawa yang kental, putéh-putéh, abang-abang (putih-putih, merah-merah). (Sugeng Winarno, 2003). Jika benar dikatakan benar dan jika salah dikatakan salah.
Ki Samin sangat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. “Rembugé sing ngati-ati”Para pengikutnya dianjurkan untuk berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Bahkan untuk tetap dapat menjaga sikap kejujurannya itu, ia menghindari pekerjaan sebagai pedagang. (berhati-hatilah dalam bicara). Dalam berbicara seseorang harus selalu menjaga pembicaraannya agar tidak menyakiti orang lain.
Untuk dapat melaksanakan kepercayaan tersebut baik secara terang-terangan maupun samar-samar, maka setiap orang harus menghindari sifat-sifat yang dilarang yakni “Aja drengki sréi, tukar-padu, mbadog colong” (jangan dengki dan iri, bertengkar, makan bukan haknya, dan mencuri). Semangat kebersamaan dalam masyarakat Samin terjalin dengan kuat. Tidak diperbolehkan seseorang mengambil untung dari kerugian orang lain. Pantang bagi mereka untuk menindas dan memperdaya orang lain. Tidak ada pencurian, kalaupun ada dapat dipastikan pencurinya berasal dari golongan orang bukan Samin. Tidak melakukan perjudian dan memiliki barang yang bukan haknya.
Keharusan untuk menjagai lisan, tersimpulkan dalam ungkapan pangucap saka limo bundhelané ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelané ana pitu (pangucap dari sumber yang lima, pengendaliannya ada tujuh, pangucap dari sumber sembilan pengendaliannya juga ada tujuh). Oleh Gatot Pranoto angka-angka tersebut diartikan sebagai berikut; limo songo bermakna sembilan jumlah lubang dalam diri manusia (2 di mata, 2 di telinga, 2 di hidung, 1 di mulut, 1 lingga/yoni, 1 anus) dan pitu bermakna lima lubang manusia bagian atas (2 di mata, 2 di telinga, 2 di hidung, 1 di mulut). (Wawancara pada tanggal 18 Maret 2006) bermakna jumlah panca indera (penglihat, pendengar, perasa, penciuman, dan pengecap),
Adapun kunci utama untuk menjaga segala tingkah laku manusia adalah lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni (kerjakan sikap sabar dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan). Untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka wong urip kudu ngerti uripé, manusia harus mengetahui hakikat kehidupan. (Suripan Sadi Hutomo, 1996). Selalu membiasakan sifat sabar, mengendalikan emosi, dan tidak mudah putus asa dalam berusaha adalah bekal untuk mengetahui hakikat kehidupan. Hal ini dicontohkan oleh Ki Samin dengan kegemarannya bersemedi di tempat-tempat yang sepi. Selain untuk melatih kesabaran, dengan semedi dapat melatih memusatkan pikiran dan melepaskan diri dari penderitaan. Cara tersebut merupakan salah satu jalan menjadi atmajatama (anak mulia) yang sesungguhnya.
BACAAN
Amrih Widodo, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati” dalam Majalah BASIS Nomor 09-10 tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, penerjemah Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Eny Marlina, “Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni, 2005.
Franz Margnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 2001
Gatot Pranoto, “Saminisme: Ajaran Spiritual Unik dari Blora”, makalah pemateri Sarasehan Budaya Spiritual pada tanggal 20-21 Maret 2006 di Adhi Jaya Hotel Blora
G. Sijayanto/Mayong S. Laksono “Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko”
dalam http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm.
tulisan di akses pada tanggal 5 Februari 2006.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Harun Mirzah, Gerakan Saminisme, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
Hasan Anawar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”, Prisma (Edisi Nomor 10, Oktober 1979, tahun VIII).
Imam Fatawi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koran KOMPAS, Edisi Jumat, 4 Maret 2005, Judul Berita: “Samin, Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah”
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Muhammad Fathoni Hasyim, “Islam Samin, Sinkretisme Tradisi Samin dan Islam di Jepang Bojonegoro”, dalam Istiqro’ Journal Penelitian Islam Indonesia, (Volume 03, Nomor 01, 2004)
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari AspekKebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2004
______ , “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
______ , Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.
Nurudin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Purwadi, “Ajaran Samin Surosentiko” dalam Tasawuf Muslim Jawa, Yogyakarta: Pustaka, 2004.
_______ dan Maharsi, Babad Demak; Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005
R.P.A Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Slamet MD. Pesona Budaya Blora, Suatu Kajian Folklor. Surakarta: STSI Press dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora, 2005.
Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater, 1996.
_______, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis (edisi Januari 1983)        
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Kompas. 2003.
Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes