AJARAN PENDIDIKAN SAMIN SUROSENTIKO
![]() |
1. Pendidikan tentang Semangat Pembebasan
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, gerakan-gerakan protes petani yang ditujukan kepada Pemerintah Kolonial Belanda mulai muncul. Semua gerakan itu, termasuk gerakan protes petani di Blora, adalah suatu pernyataan tidak puas dari petani terhadap dominasi kolonial yang membawa perubahan di kawasan pedesaan. Perubahan yang diharapkan menjadikan kehidupan rakyat menjadi lebih baik, malah berbalik menyengsarakan rakyat.
Oleh karena pajak yang dibebankan kepada masyarakat sangat tinggi, masyarakat hidup dalam serba kesulitan dan kekurangan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, yaitu makanan dan pakaian. Badan mereka kurus-kurus, bahkan karena hal demikian mereka menjadi tidak mempunyai keberanian untuk menentang Belanda.
Melihat fenomena demikian, Ki Samin Surosentiko tergerak hatinya. Sepertihalnya orang tuanya, jiwa sosialnya mulai muncul. Ia menganjurkan kepada penduduk untuk tidak tunduk kepada Belanda. Keyakinan bahwa tanah Jawa adalah warisan dari leluhur, mengakar kuat dalam jiwanya. Bersama pengikutnya, Ia kemudian bersama-sama melakukan pemberontakan kepada Belanda. Bukan pemberontakan fisik yang ditempuh, tapi cara nggendeng-lah yang dipilih dalam setiap perlawanan, demi memperoleh kembali hak-hak yang selama ini telah dirampas oleh bangsa lain.
2. Pendidikan tentang Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan
Rasa kebersamaan merupakan ajaran terpokok yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia harus bertindak “sama-sama”, sama-sama bertindak jujur, sama-sama adil, sama-sama saling menolong, demi terciptanya masyarakat yang homogen dan guyub. (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Ia menggunakan istilah sedulur (saudara) untuk membahasakan diri sendiri kepada orang lain. Siapapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun ketika sudah menjadi bagian dalam komunitas Samin, maka ia dianggap sebagai saudara. Ajaran tersebut tercermin dalam prinsip sinten mawon kulo aku sedulur (siapa saja saya anggap sebagai saudara). (Sugeng Winarno, 2003). Berawal dari prinsip itu maka muncul gaya hidup yang bersifat permisif (terbuka) dan egaliter (persamaan).
Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut adang akéh, semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama. (Titi Mumfangati, dkk, 2004) Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa gilir-gumanti (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Yakni bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu.
Kadar kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko memang sangat tinggi. Dapat dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal itu tercermin dalam motto dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké (milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan). (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Bila seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya apa-apa, tanpa ragu ia bisa pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu!” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu!” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII).
Penanaman rasa persamaan dicerminkan Ki Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (bahasa Jawa kasar) dalam setiap percakapan, tanpa mau menggunakan Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi. (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya.
3. Pendidikan Etos Kerja
Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. (Hasan Anwar, 1979). Setiap orang diharuskan mampu melatih diri dan bekerja sejak dini guna mendapatkan kemakmuran hidup. Dengan akal, manusia mampu menetukan hal-hal yang paling tepat bagi kehidupannya. Seperti bunyi sebuah pribahasa di kalangan masyarakat Samin, “Janma lan sato iku prabédané anéng jantraning laku. Janma wenang amurba lan misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa ing pranatamangsa.” Artinya, perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim. (Soerjanto Sastroatmodjo, 2003)
Agar mampu mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Dengan usaha dan kesabaran tersebut, hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi. Lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni (kerjakan sikap sabar dan giat. Agar selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan).
4. Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hubungan manusia dengan alam lingkungan di masyarakat Samin terjalin sangat akrab dan dekat. Hal ini disebabkan rutinitas kehidupannya adalah sebagai petani sehingga kedekatan dengan alam tidak dapat terpisahkan. Baginya, pekerjaan yang paling mulia dan sesuai dengan kondisi mereka adalah sebagai seorang petani.
Dalam pengelolaan hasil panen yang diperoleh, mereka membiasakan membagi menjadi empat bagian yang sama besar. Bagian pertama disediakan untuk bibit pada masa tanam berikutnya. Kedua, untuk pangan, yaitu bagian yang disediakan untuk kebutuhan makan setiap hari. Ketiga, untuk sandang, yaitu bagian yang disediakan untuk keperluan membeli pakaian dan sejenisnya. Keempat, ialah untuk upah, yaitu bagian yang disediakan untuk penggarapan sawah atau ladang dan ongkos menuai atau panen. (Hasan Anwar, 1979). Khusus bagian yang disediakan untuk bibit, dalam keadaan yang bagaimanapun, bagian ini tidak boleh dikurangi. Sebab apabila bagian ini dikurangi untuk menutup keperluan lain, maka sudah pasti mereka akan kesulitan untuk melakukan penanaman di musim tanam yang akan datang. Dalam hal ini, ada semacam tuntutan untuk melestarikan lingkungan secara berkelanjutan.
Kepercayaan terhadap ‘karma’ menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Adanya kepercayaan ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang nandur mesti bakal ngunduh, ora ono nandur pari thukul jagung, nandur pari mesti ngunduh pari” (siapa yang menanam pasti akan memanen, tidak ada seorang pun yang menanam padi akan menuai jagung, siapa saja menanam padi pasti akan menghasilkan padi). (Hasan Anwar, 1979). Barang siapa yang menanam kebaikan, maka disuatu saat nanti ia akan menuai hasil kebaikannya. Sebaliknya, barang siapa yang menanam benih-benih kejelekan, maka tentunya ia sendiri yang akan menuai kejelekan itu di suatu saat nanti.
5. Pendidikan Akhlak atau Budi Pekerti
Secara keseluruhan ajaran-ajaran Samin Surosenitiko, pada hakikatnya menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Ajaran tersebut digunakan sebagai pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia dalam pergaulan. Salah satu hal yang bisa dicontoh dari ajaran Ki Samin adalah kejujuran. Kejujuran hatinya tersimpulkan dalam Bahasa Jawa yang kental, putéh-putéh, abang-abang (putih-putih, merah-merah). (Sugeng Winarno, 2003). Jika benar dikatakan benar dan jika salah dikatakan salah.
Ki Samin sangat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. “Rembugé sing ngati-ati”Para pengikutnya dianjurkan untuk berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Bahkan untuk tetap dapat menjaga sikap kejujurannya itu, ia menghindari pekerjaan sebagai pedagang. (berhati-hatilah dalam bicara). Dalam berbicara seseorang harus selalu menjaga pembicaraannya agar tidak menyakiti orang lain.
Untuk dapat melaksanakan kepercayaan tersebut baik secara terang-terangan maupun samar-samar, maka setiap orang harus menghindari sifat-sifat yang dilarang yakni “Aja drengki sréi, tukar-padu, mbadog colong” (jangan dengki dan iri, bertengkar, makan bukan haknya, dan mencuri). Semangat kebersamaan dalam masyarakat Samin terjalin dengan kuat. Tidak diperbolehkan seseorang mengambil untung dari kerugian orang lain. Pantang bagi mereka untuk menindas dan memperdaya orang lain. Tidak ada pencurian, kalaupun ada dapat dipastikan pencurinya berasal dari golongan orang bukan Samin. Tidak melakukan perjudian dan memiliki barang yang bukan haknya.
Keharusan untuk menjagai lisan, tersimpulkan dalam ungkapan pangucap saka limo bundhelané ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelané ana pitu (pangucap dari sumber yang lima, pengendaliannya ada tujuh, pangucap dari sumber sembilan pengendaliannya juga ada tujuh). Oleh Gatot Pranoto angka-angka tersebut diartikan sebagai berikut; limo songo bermakna sembilan jumlah lubang dalam diri manusia (2 di mata, 2 di telinga, 2 di hidung, 1 di mulut, 1 lingga/yoni, 1 anus) dan pitu bermakna lima lubang manusia bagian atas (2 di mata, 2 di telinga, 2 di hidung, 1 di mulut). (Wawancara pada tanggal 18 Maret 2006) bermakna jumlah panca indera (penglihat, pendengar, perasa, penciuman, dan pengecap),
Adapun kunci utama untuk menjaga segala tingkah laku manusia adalah lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni (kerjakan sikap sabar dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan). Untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka wong urip kudu ngerti uripé, manusia harus mengetahui hakikat kehidupan. (Suripan Sadi Hutomo, 1996). Selalu membiasakan sifat sabar, mengendalikan emosi, dan tidak mudah putus asa dalam berusaha adalah bekal untuk mengetahui hakikat kehidupan. Hal ini dicontohkan oleh Ki Samin dengan kegemarannya bersemedi di tempat-tempat yang sepi. Selain untuk melatih kesabaran, dengan semedi dapat melatih memusatkan pikiran dan melepaskan diri dari penderitaan. Cara tersebut merupakan salah satu jalan menjadi atmajatama (anak mulia) yang sesungguhnya.
BACAAN
Amrih Widodo, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati” dalam Majalah BASIS Nomor 09-10 tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, penerjemah Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Eny Marlina, “Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni, 2005.
Franz Margnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 2001
Gatot Pranoto, “Saminisme: Ajaran Spiritual Unik dari Blora”, makalah pemateri Sarasehan Budaya Spiritual pada tanggal 20-21 Maret 2006 di Adhi Jaya Hotel Blora
G. Sijayanto/Mayong S. Laksono “Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko”
dalam http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm.
tulisan di akses pada tanggal 5 Februari 2006.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Harun Mirzah, Gerakan Saminisme, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
Hasan Anawar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”, Prisma (Edisi Nomor 10, Oktober 1979, tahun VIII).
Imam Fatawi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koran KOMPAS, Edisi Jumat, 4 Maret 2005, Judul Berita: “Samin, Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah”
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Muhammad Fathoni Hasyim, “Islam Samin, Sinkretisme Tradisi Samin dan Islam di Jepang Bojonegoro”, dalam Istiqro’ Journal Penelitian Islam Indonesia, (Volume 03, Nomor 01, 2004)
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari AspekKebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2004
______ , “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
______ , Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.
Nurudin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Purwadi, “Ajaran Samin Surosentiko” dalam Tasawuf Muslim Jawa, Yogyakarta: Pustaka, 2004.
_______ dan Maharsi, Babad Demak; Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005
R.P.A Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Slamet MD. Pesona Budaya Blora, Suatu Kajian Folklor. Surakarta: STSI Press dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora, 2005.
Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater, 1996.
_______, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis (edisi Januari 1983)
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Kompas. 2003.
Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes
0 komentar:
Posting Komentar