PANDANGAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
AJARAN SAMIN SUROSENTIKO
AJARAN SAMIN SUROSENTIKO
Kuatnya pengaruh Samin Surosentiko menjadikan landasan bagi pengikutnya untuk melawan ketidakadilan penjajahan Belanda. Keengganan masyarakat Samin untuk membayar pajak, tidak mau ikut ronda, dan sebagainya juga telah membuat Pemerintahan Kolonial Belanda bingung. Keberanian itu timbul semenjak Ki Samin menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik orang Jawa yakni yang diyakininya diperoleh dari warisan Prabu Punthodewo. Sebagaimana yang disebutkan dalam Serat Punjer Kawitan, mungkin Ki Samin terlalu melebih-lebihkan (memitoskan) cerita ini. Namun bila cerita ini dilihat secara tersirat nampak bahwa Ki Samin sedang memberikan semangat pembebasan bagi pengikutnya untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan.
Dalam sejarah Islam disebutkan, sebelum Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di Makkah, kondisi sosio-kultur dan politik-ekonomi di kota itu sangatlah memprihatinkan. Penindasan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana. Kesenjangan sosial sangat tinggi menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Posisi dan kedudukan wanita sama sekali tidak dihargai. Budak-budak perempuan dipaksa untuk melayani nafsu seksual tuan-tuannya. Mereka tidak dapat memainkan peran independen dalam bidang sosial, ekonomi, atau politik. Dalam bidang politk, fanatisme kesukuan yang sangat tinggi mengakibatkan mereka tidak mempunyai persatuan yang kuat. Sehingga peperangan menjadi semacam hobi di kalangan mereka.
Nabi Muhammad Saw. lahir dengan kondisi sosial yang sangat buruk. Dengan Al-Quran sebagai bukti legalitasnya menjadi seorang Rasul, ia berusaha membebaskan kondisi masyarakat Makkah menuju masyarakat yang harmonis. Dengan rasa keberanian yang dilandasi dengan kebenaran, Nabi Muhammad Saw. melakukan gerakan yang sangat radikal yakni membebaskan masyarakat dari penindasan, penderitaan, takhayul, perbudakan dan ketidakadilan. Pembebasan ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan umatnya untuk berfikir dan berbuat.
Ini adalah sedikit gambaran singkat mengenai pendidikan pembebasan yang terdapat dalam Islam. Agama selalu mengajarkan harmoni. Begitulah pandangan orang dari sudut normatif sehingga menjadi keniscayaan bila keberadaan agama harus mampu menegakkan rasa keadilan, kemerdekaan, dan pengakuan hak-hak atas setiap manu sia.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa antara Samin Surosentiko dengan Muhammad Saw., memiliki persamaan semangat sebagai bekal untuk mengentaskan masyarakatnya dari segala penindasan dan ketidakadilan. Namun keduanya tidak berada pada frame (bingkai) yang sama. Di satu sisi hendak menyebarkan ajaran Islam, dan di sisi lain hendak menciptakan solidaritas kelompoknya lebih stabil.
2. Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan
Meski tidak mengenal teori-teori sosiologi modern seperti sekarang ini, namun Samin Surosentiko sadar bahwa untuk menjalin hidup kebersamaan di masyarakat, setiap orang harus sama-sama bertindak jujur, sama-sama bersikap adil, sama-sama saling menolong dan sebagainya. Ki Samin selalu berpegang pada prinsip sinten mawon kulo aku sedulur. Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan yang kuat di kalangan pengikutnya. Ungkapan dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké memberikan kesan bahwa kehidupan selalu diselimuti rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Dalam ajaran Islam, umat Islam selalu dianjurkan untuk hidup berdampingan di masyarakat. Artinya terdapat semangat kebersamaan dalam konsep hidup orang Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yang artinya “Seorang muslim bersaudara dengan muslim yang lain. Ia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkan (kepada musuhnya). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah Swt. akan memenuhi pula kebutuhannya. Siapa yang melapangkan suatu kesulitan seorang muslim, Allah Swt. akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi di hari kemudian.” (HR. Buhkari Muslim dari sahabat Ibnu Umar)
Prinsip persaudaraan ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam sebuah firmannya yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah Swt. supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujarat 49:10). Menurut Quraish Shihab, faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas maupun sempit adalah persamaan sehingga semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. (Quraish Shihab, 1994)
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama, laki-laki dan perempuan, dan tidak ada perbedaan sedikitpun satu sama lain yang dikarenakan oleh suku, bangsa, ras, atau warna kulit. Perbedaan-perbedaan ini diciptakan oleh Allah Swt. agar manusia saling mengenal bukan malah berusaha menguasai satu sama lainnya atau merasa benar dibanding dengan kelompok lainnya. (QS. Al Hujaraat 49:13)
Nabi Muhammad Saw. menerapkan ajaran persamaan tersebut dengan cara mengangkat seorang budak Negro yang bernama Bilal untuk menjadi muadzin. Meski sempat menjadi bahan cemoohan orang-orang Quraish, namun Nabi tetap dalam pendiriannya. Dengan mengangkat seorang budak Negro, Nabi Muhammad Saw. dengan jelas menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia melampaui segala hal, tidak membedakan warna kulit maupun status sosialnya dalam masyarakat.
Begitupula yang dilakukan oleh Samin Surosentiko, semangat persamaan selalu didengung-dengungkan. Bahkan ia berani ‘menggugat’ tata Bahasa Jawa secara umum yakni dengan keengganannya menggunakan bahasa selain Ngoko dalam setiap pembicaraan.
3. Etos Kerja
Terdapat pribahasa yang cukup terkenal dalam masyarakat Samin yakni “Janma lan sato iku prabédané anéng jantraning laku. Janma wenang amurba lan misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa ing pranatamangsa.” Dalam pribahasa tersebut dijelaskan bahwa perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim.
Ki Samin berpesan, agar mampu menopang kehidupannya, setiap manusia harus bekerja. Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Guna mendapatkan hasil yang lebih baik dalam bekerja, setiap manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Seperti terlihat dalam ungkapan lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni.
Sebagai makhluk pengemban amanah kekhalifahan, manusia mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga potensi tersebut dapat didayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaban. (A. Malik Fadjar, 1999). Dalam konteks ini manusia harus mampu belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral (knowling is doing), sebab tanpa tanggung jawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tentu tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tentram di mana kepribadian dapat berkembang. (H.A.R. Tilaar, 1999)
Dengan tegas Al-Quran menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah Swt. yang paling sempurna (QS. As-Sajdah 32:7), memiliki potensi atau fitrah bawaan QS. Ar-Rum 30:30, dapat diberdayakan, dapat didik dan mendidik sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam kehidupannya. Bila potensi-potensi ini mampu dikembangkan maka manusia akan mendapatkan prestasi-prestasi dalam hidupnya. Agar mampu menyelesaikan tugasnya sebagai khalifah, manusia dibekali berbagai keistimewaan dan potensi yang telah tergambar dalam kisah perjalanannya menuju tempat tugasnya. Quraish Shihab (1994) mengklasifikasikan kisah perjalanan tersebut dalam empat tahapan yakni;
Pertama, kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. (QS. Thaahaa 20:31). Melalui potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam raya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya, kemudian meramu berbagai aspek bentukan alam untuk dimanfaatkan dalam kehidupan. Kedua, pengalaman selama berada di surga, baik yang manis maupun yang pahit. Hal ini membekali mereka dengan cita-cita dan arah tugas khalifahnya di dunia. Dengan demikian segala aktifitasnya terarah untuk kembali ke surga, bahkan mewujudkan bayangan-gayangan surga di permukaan bumi ini, dengan mewujudkan kesejahteraan ruhani berupa kedamaian yang dialaminya di surga, (QS. Waaqiah 56:26) serta kesejahteraan jasmani berupa kebebasan dari kebutuhan-kebutuhan khususnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. (QS Thahaa 20:117-119). Di samping itu pengalamannya mengikuti rayuan-rayuan setan yang mengakibatkannya ‘keluar’ dari surga merupakan pelajaran yang sangat berharga agar manusia tidak mengulangi kesalahan tersebut di dunia. Dan pada saat yang sama, pengalaman tersebut menggambarkan adanya potensi negatif dalam diri manusia. Ketiga, Tuhan telah menaklukkan atau memudahkan alam raya untuk diolah manusia, (QS. Ibrahim 14:32-33) penaklukan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh manusia sendiri. (QS. Az-Zuhruf 43:13). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kemudahan penaklukan tersebut bersumber dari Tuhan, dan dengan demikian, manusia dan benda-benda tersebut mempunyai kedudukan yang sama dari segi ketundukan dan perhambaan diri kepada Tuhan. Keempat, beberapa saat setelah manusia tiba di bumi, Tuhan memberikan kepadanya petunjuk-petunjuk. (QS. Thaahaa 20:123). Petunjuk-petunjuk tersebut dapat diperinci menjadi dua bagian yakni (1) Petunjuk terinci dan pasti sehingga tidak dibenarkan adanya campuran tangan pemikiran manusia, dan tidak pula dibenarkan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dan situasi sosial apapun (petunjuk seperti ini sedikit sekali), dan (2) Petunjuk yang bersifat umum atau nilai-nilai sehingga manusia diberi kewenangan untuk memikirkan dan menyesuaiakan diri dengan nilai-nilai tersebut tanpa terikat dengan suatu cara tertentu.
4. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Rutinitas kehidupan sebagai petani membuat kedekatan Samin Surosentiko dengan alam tidak dapat terpisahkan lagi. Kepercayaannya terhadap ‘karma’ menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Meskipun tanah Jawa adalah tanah warisan, namun mereka tidak mau seenaknya saja memanfaatkan apa yang ada di dalamnya. Kuatnya kepercayaan ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang nandur mesti bakal ngunduh” (siapa yang menanam pasti akan memanen). Aturan ini menuntut kehati-hatian mereka dalam mengelola lingkungannya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sepertihalnya yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya, konsep kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan alam. Interaksi tersebut harus bersifat harmonis, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. (Quraish Shihab, 1994). Semakin harmonis hubungan manusia dengan alam raya maka semakin dalam pengenalannya terhadap lingkungan, sehingga semakin banyak hal-hal yang dapat diperoleh melalui alam. Sebaliknya bila hubungan tidak harmonis dan hanya sebatas eksploitasi sepihak, maka hasil yang dicapai adalah penderitaan yang disebabkan tidak terawatnya alam disekitarnya. Besarnya karunia yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan manusia. (QS. An-Nahl 16:5)
Seluruh alam raya diciptakan oleh Allah Swt. agar digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. (Quraish Shihab, 1994). Allah Swt. menciptakan alam seisinya tentunya dengan perencanaan dan tujuan yang sangat matang (QS. Ad-Dukhan 44:38 dan QS. Al Ahqqaf 46:3) Dalam pandangan agama, manusia dituntut agar mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dalam alam. Etika agama terhadap alam mengantarkan manusia untuk bertanggungjawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri. (Quraish Shihab, 1994). Dengan demikian sikap yang diajarkan oleh agama ini tentunya tidak sejalan dengan sikap yang memandang bahwa alam semata-mata hanya untuk mencapai tujuan konsumtif manusia belaka.
Islam secara tegas melarang umatnya untuk memanfaatkan sumber daya alam tanpa batas-batas kewajaran. Sifat-sifat luhur yang tercermin dalam perilaku bertanggung jawab merupakan dasar pijakan dalam pengelolaan alam. Bila sekarang ini alam menjadi semakin tidak bersahabat, banyak bencana tanah longsor, banjir bandang, pencemaran lingkungan, dan sebagainya, maka kesemua itu tidak lain adalah akibat ulah dari keserakahan manusia. (Q.S. AR-Ruum: 41)
5. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak pada ajaran Samin Surosentiko ini salah satunya tercermin dalam prinsip putéh-putéh, abang-abang, yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran. Kemudian prinsip kehati-hatian dalam berbicara terlihat dalam ungkapan rembugé sing ngati-ati. Anjuran untuk menjauhi sifat dengki, iri hati, permusuhan, pencurian, terdapat dalam ungkapan aja drengki sréi, tukar-padu, mbadog colong. Keharusan untuk mengendalikan panca indera tersimpukan dalam ungkapan pangucap saka limo bundhelané ana pitu, lan pangucap saka sanga bundhelané ana pitu.
Dalam Islam, sudah banyak ayat Al-Quran maupun Hadits yang membahas tentang masalah budi pekerti. Misalnya, dalam Surat Al-Qalam ayat 4 Allah Swt. berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung” (QS. Al Qalam 68:4). Kemudian dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasulullah Saw. bersabda; “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Quraish Shihab (2004) sasaran akhlak islamiyah terbagi menjadi tiga bentuk, pertama, akhlak terhadap Allah Swt. Titik tolak akhlak terhadap Allah Swt. adalah pengakuan dan kesadaran manusia bahwa tiada Tuhan melainkan Allah Swt. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu sehingga semua makhluknya tidak mampu menjangkau hakikat-Nya. Itu sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya. Kedua, Akhlak kepada sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Hendaklah kamu berjauh diri dari dengki, karena dengki itu memakan kebajikan-kebajikan sebagaimana api memakan kayu.” Setiap ucapan haruslah merupakan ucapan yang baik. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt., “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah 2:83)
Ketiga, akhlak terhadap lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Firman Allah Swt., “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah Swt.” (QS. Al Hasyr 59:5). Ayat ini menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini merupakan milik Allah Swt., dan mengantarkan kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman manusia, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bukan saja dituntut untuk tidak angkuh terhadap sumber daya yang dimiliki-Nya melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah Swt. menyangkut apa saja yang berada di sekitar manusia.
BACAAN
Amrih Widodo, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati” dalam Majalah BASIS Nomor 09-10 tahun ke-49, September-Oktober 2000.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah: Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, penerjemah Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Eny Marlina, “Variasi Leksikon Pemakaian Bahasa Jawa dalam Aspek Sosial Budaya pada Masyarakat Samin: Kajian Sosiodialektologi di Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora”, Skripsi, (Semarang: Universitas Negeri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni, 2005.
Franz Margnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 2001
Gatot Pranoto, “Saminisme: Ajaran Spiritual Unik dari Blora”, makalah pemateri Sarasehan Budaya Spiritual pada tanggal 20-21 Maret 2006 di Adhi Jaya Hotel Blora
G. Sijayanto/Mayong S. Laksono “Samin: Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko”
dalam http://www.indomedia.com/intisari/2001/Juli/warna_samin.htm.
tulisan di akses pada tanggal 5 Februari 2006.
H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
Harun Mirzah, Gerakan Saminisme, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
Hasan Anawar, “Pola Pengasuhan Anak Orang Samin Desa Margomulyo, Jawa Timur”, Prisma (Edisi Nomor 10, Oktober 1979, tahun VIII).
Imam Fatawi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.”, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koran KOMPAS, Edisi Jumat, 4 Maret 2005, Judul Berita: “Samin, Kultur Berlatar Perlawanan Penjajah”
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa, 2003
Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Muhammad Fathoni Hasyim, “Islam Samin, Sinkretisme Tradisi Samin dan Islam di Jepang Bojonegoro”, dalam Istiqro’ Journal Penelitian Islam Indonesia, (Volume 03, Nomor 01, 2004)
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari AspekKebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2004
______ , “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994
______ , Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2004.
Nurudin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Purwadi, “Ajaran Samin Surosentiko” dalam Tasawuf Muslim Jawa, Yogyakarta: Pustaka, 2004.
_______ dan Maharsi, Babad Demak; Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa, Yogyakarta: Tunas Harapan, 2005
R.P.A Soerjanto Sastroatmojo, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Slamet MD. Pesona Budaya Blora, Suatu Kajian Folklor. Surakarta: STSI Press dan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora, 2005.
Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater, 1996.
_______, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis (edisi Januari 1983)
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan. Jakarta: Kompas. 2003.
Astroatmodjo (2003) film dokumenter mas Arto di Studio 12 Ungaran hasil diskusi hasil KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pada saat duduk di bangku kuliah di Program Studi Pendidikan Sosiologi & Antropologi Unnes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar